Kamis, 20 Oktober 2011

RELASI SOSIAL ANTAR KELOMPOK AGAMA DI INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Indonesia adalah sebuah negara yang plural. Salah satu wujud pluralismenya adalah perbedaan agama. Agama menurut Emile Durkheim adalah sebuah sistem terpadu dari kepercayaan dan praktik-praktik yang berhubungan dengan hal-hal yang sakral (Durkheim, 2003). Di Indonesia terdapat lima agama besar yang diakui pemerintah. Lima agama tersebut adalah Islam, Kristen, Katolik,  Budha, dan Hindu. Namun, saat ini Indonesia sedang kacau balau akibat sering terjadinya konflik. Konflik yang ada beberapa disangkut pautkan dengan agama. Salah satunya yang  kejadian di Temanggung pada bulan Februari 2011 lalu. Kejadian terjadi disebabkan karena seseorang melakukan kejahatan berupa penistaan agama. Akibatnya, massa yang kesal karena agamanya dihina melakukan tindakan kekecewaan berupa perusakan rumah-rumah ibadah. Tindakan kekecewaan yang dilakukan massa tersebut membuktikan bahwa negara indonesia sebagai suatu bangsa yang menjunjung tinggi kesatuan dan persatuan terancam mengalami disintegrasi. Tentunya itu akan merusak relasi harmonis antar umat beragama.

1.2  Tujuan Penulisan
Makalah ini ditujukan untuk menjelaskan tentang relasi sosial antar kelompok agama di Indonesia, menganalis malasah dalam relasi antar umat beragama di Indonesia; serta menawarkan solusi atas permasalahan yang terjadi.



               BAB II
KERANGKA KONSEP
2.1 Konsep Agama
Agama dinilai sebagai suatu kepercayaan yang kerap kali didapat dari warisan orang tua. Setiap orang yang lahir dari orang tua yang memiliki agama tertentu, biasanya akan mewarisi agama orang tuanya. Terdapat beberapa penjelasan terhadap hal ini. Pertama, agama merupakan suatu yang sakral, suci dan murni. Demi kesakralan, kesucian dan kemurnian agama itu sendiri manusia dituntut untuk menerima agama secara taken for granted (apa adanya). Adanya figure dan tokoh agama juga secara tidak langsung mengarahkan kita untuk tidak bertanya-tanya tentang agama itu sendiri. Kemudian juga hagemoni (pengaruh) sistem pendidikan yang tidak mengindahkan kritisasi atas agama. Sementara bagi pemerintah sendiri ada empat factor yang menentukan arti agama tersebut yaitu : percaya terhadap Tuhan yang satu, memiliki system hokum yang jelas, memiliki kitab suci dan memiliki seorang nabi (Saidi, 2004)
M. Rasjidi mengatakan bahwa agama adalah masalah yang tidak dapat ditawar-tawar, apalagi berganti. Ia mengibaratkan agama bukan sebagai (seperti) rumah atau pakaian yang kalau perlu dapat diganti. Jika seseorang memeluk keyakinan, maka keyakinan itu tidak dapat pisah darinya.  Berdasarkan keyakinan inilah, menurut Rasjidi, umat beragama sulit berbicara objektif dalam soal keagamaan, karena manusia dalam keadaan involved (terlibat). Sebagai seorang muslim misalnya, ia menyadari sepenuhnya bahwa ia  involved (terlibat) dengan Islam. Namun, Rasjidi mengakui bahwa dalam kenyataan sejarah masyarakat adalah multi-complex yang mengandung religious pluralism, bermacam-macam agama. Hal ini adalah realitas, karena itu mau tidak mau kita harus menyesuaikan diri, dengan mengakui adanya religious pluralism dalam masyarakat Indonesia.
Dari perspektif sosiologi Emile Durkheim mendefinisikan agama sebagai sebuah system terpadu dari kepercayaan dan praktik-praktik yang berhubungan dengan hal-hal yang sakral (Durkheim, 2003).  Kemudian ditinjau dari teori structural fungsional, bahwa fungsi agama saling kait-mengait di masyarakat. Sedikitnya ada tiga fungsi agama yaitu sebagai perekat social (social cohesion), kontrol sosial (social control),dan sebagai pemberi makna dan tujuan (Macionis, 2006). Lain halnya dengan teori konflik. Teori ini menggaris bawahi peran agama sebagai pencipta ketidaksetaraan dalam masyarakat. Marx berpendapat bahwa agama menanamkan kesadaran palsu (false consciousness) supaya orang-orang mau menerima permasalahan sosial di dunia ini dan berharap terus pada datangnya dunia yang lebih baik. Pendapat Marx ini diperkuat dengan penggunaan agama sebagai alat mempertahankan/ mendapatkan kekuasaan. Dalam prespektif Interaksionalisme Simbolik, agama memiliki kekuatan yang mengikat karena sesuatu yang  suci. Selain itu orang-orang juga sering menggunakan simbol-simbol suci untuk ketenangan dalam menghadapi bahaya ( macionis, 2008 ).
2.2 Kompleksitas dan Heterogenitas
Pluralisme agama adalah ketiga dalam suatu Negara terdapat beberapa Negara yang diakui. Contohnya Indonesia yang mengakui keberadaan 5 agama yaitu : Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Namun ditengah pluralism ini masih ada pembagian yang bias dikatakan cukup kompleks. Ya, inilah yang dinamakan dengan heterogenitas. Heterogenitas agama di Indonesia tidak hanya berkaitan dengan varian agama, namun juga menyangkut keragaman aliran/sekte/denominasi dalam sebuah agama. Islam misalnya, ada aliran islam yang bias dikatakan yang sesuai dengan pakemnya yaitu sunni, dan ada juga islam aliran garis keras yaitu salafi. Ada juga pengklasifikasian islam oleh Clifford Geertz (1926-2006), dimana ada tiga kategori yaitu santri (menjalankan ritual islam murni), abangan (lebih fleksibel), dan priyayi (golongan elit jawa yang lebih condong ke hinduisme). Agama Kristen juga demikian, sedikitnya ada sekitar 88 gereja yang tergabung di dalam Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI). Hal ini juga tak luput dari agama Hindu dimana terdapat beberapa kelompok spiritual seperti Krisna, Sai Baba, Siwa, Tri Murti dan lain-lain. Demikian pula yang terjadi di agama Budha, terdapat tiga sangha serta tujuh organisasi perwakilan aliran budha lainnya yang menjadi anggota resmi. Begitulah deskripsi betapa bangsa Indonesia yang memiliki pluralism agama masih juga memiliki heterogenitas dalam setiap elemen agama.
2.3 Lokalisasi Agama
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Neils Mulder, salah satu peneliti tentang budaya di Asia Tenggara. Dia melakukan penelitiannya di Thailand, Jawa, dan Fhilipina. Ia menggunakan konsep lokalisasi untuk menjelaskan agama di Asia Tenggara. Menurutnya lokalisasi itu sendiri merupakan jawaban dimana budaya lokal menerima, menyerap, dan menyatakan kembali apa yang diterima dari luar. Hal tersebut tentunya harus disesuaikan dengan kebudayaan lokal yang ada. Seperti contoh, pada masyarakat  kejawen. Kejawen merupakan hasil dari keberhasilan orang  jawa karena telah berhasil menglokalisasikan beberapa kebudayaan dari luar[1]. Dalam kejawen juga terdapat penekananan yang menunjukan keunikan dan kekhasan pemikiran orang  Jawa dimana rasa, ilham, wahyu, dan intuisi lebih dihargai sebagai jalan menuju kebenaran daripada pemikiran yang dogmatis.[2]
Itu dapat dikatakan bahwa agama hasil dari lokalisasi berbeda dengan agama yang sebenarnya atau berbeda dengan agama yang sebenarnya. Clifford Geertz pernah menjelaskan tentang perbedaan agama islam di Indonesia dengan di Maroko. Perbedaaan tersebut di buktikan bahwa Islam di Indonesia memiliki sifat-sifat estetisme, asimilatif, luwes, pragmatis, gradualis, dan kompromis. Itu berbeda dengan islam di Maroko yang menurut Geertz menjunjung tinggi semangat aktivisme, moralisme, dan indiviualisme.[3]

2.4 Politik Agama Setelah Kemerdekaan
Pasca-kemerdekaan, Indonesia menghadapi berbagai bentuk pemberontakan yang terjadi di beberapa daerah dengan motif yang hampir serupa, yaitu mendirikan negara Islam Indonesia. Hal ini menandakan masuknya agama dalam ranah politik Indonesia saat itu. Pemberontakan yang terjadi  antara lain adalah gerakan DI/TII di Jawa Barat yang dipelopori Kartosuwiryo pada tahun 1948, PRRI di Sulawesi Selatan yang dipelopori oleh Kahar Muzakkar pada tahun 1952, di Sumatera dipimpin oleh Mohammad Natsir pada tahun 1958, dan di Aceh dipimpin oleh Daud Beureueh.[4]  
            Eskalasi pemberontakan di daerah yang semakin meluas berdampak pada instabilitas politik negara. Untuk mengatasinya, Soekarno kemudian merangkul PKI guna mengimbangi kekuatan militer yang semakin besar. Manuver politik itu merupakan salah satu kebijakan Demokrasi Terpimpin yang dicanangkan Soekarno pada tahun 1959. Pada akhirnya, PKI kemudian perlahan-lahan ingin memaksakan mengganti ideologi negara menjadi komunis, yang berujung pada pembunuhan 6 jenderal pejabat tinggi militer pada 30 September 1965. Pada titik inilah Soeharto yang ditunjuk sebagai Panglima Militer mulai memberantas PKI dan ormas-ormasnya dengan dibantu oleh beberapa kelompok agama seperti Nahdlatul Ulama (NU). Soeharto yang suskses menghapus PKI pun menggantikan Soekarno sebagai Presiden RI.
            Memasuki era Orde Baru, agama menjadi salah satu kendaraan politik penting bagi Soeharto. Ia menerapkan politik SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) untuk mengontrol stabilitas politik dan perpecahan kelompok, melebur partai-partai yang berideologi nasionalis dalam Partai Demokrasi Indonesia, partai-partai berideologi agama ke dalam Partai Persatuan Pembangunan, dan mendirikan partai politiknya sendiri, Golkar untuk mengamankan kedudukannya.
Pada masa ini, Soeharto melakukan depolitisasi Islam, misalnya dengan dengan menetapkan undang-undang yang mewajibkan semua partai politik dan organisasi swasta mencantumkan Pancasila sebagai asas, bukan keagamaan. Proyek ini didasarkan pada anggapan bahwa Islam yang kuat secara politik akan menjadi ancaman bagi status quo pemerintah. Selain itu tampilnya PPP sebagai partai Islam yang dikomando oleh cendekiawan dan politikus muslim dianggap pemerintah sebagai ancaman. PPP kemudian dituduh mendapat bantuan dari Libya dan dihubung-hubungkan dengan komando jihad. Akhirnya, diciptakan isu SARA dengan membuat tragedi Tanjung Priok tanggal 12 September 1984. Klimaksnya, rezim orde baru pada tahun 1985 memaksakan Pancasila sebagai asas tunggal bagi seluruh parpol dan ormas
Seluruh peristiwa yang terjadi pasca-kemerdekaan Indonesia memperlihatkan adanya hubungan antara politik agama dengan fenomena agama politik, yaitu bahwa terdapat cita-cita sebagian pemeluk agama Islam untuk mendirikan negara Islam pada awal kemerdekaan yang merupakan usaha-usaha politis berbau agama. Sementara itu pada era Orde Baru justru agama dipolitisasi pemerintah dengan adanya larangan mencantumkan ideologi lain selain Pancasila di setiap partai atau ormas yang sebenarnya bertujuan untuk mempertahankan kedudukan pemerintahan saat itu.
2.5 Kebijakan Pemerintah dalam Mengelola Kehidupan Beragama
UUD 1945 Pasal 29
UUD 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2 disebutkan bahwa:
1.                  Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
2.                   Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Kemudian terdapat pula dalam UU menteri
Negara sudah menjamin kebebasan beragama. Setiap warga negara sebetulnya berhak untuk memeluk agamanya. Konflik antar agama terjadi karena tidak adanya rasa toleransi anar umat beragama.


BAB III
ANALISIS MASALAH
3.1 Analisis Masalah
Analisis masalah yang kami tekankan pada makalah ini berhubungan dengan konflik agama. Misalkan, konflik yang terjadi di Temanggung, Jawa Tengah. Konflik tersebut terjadi karena salah satu pendeta yang bernama Antonius Rechmon Bawengan. Kornologisnya, pendeta itu berasal dari Manado, Sulawesi Tenggara. Ia menginap di rumah saudaranya di daerah Temanggung. Selain menginap, ia juga menyabarkan buku-buku yang bisa dibilang “ melecehkan “ agama islam. Akibat penyebaran buku-buku tersebut ia dikenai pasal 156 huruf a KUHP (primer), dan pasal 156 KUHP (subsider), dengan ancaman hukuman penjara selama 5 tahun. Saat dilakukannya proses pengadilan pada hari Senin, 08 Februari 2011 di  Pengadilan Negeri Temanggung berlangsung hampir ricuh. Kericuhan tersebut terjadi di dalam ruangan sidang.itu dikarenakan Masyarakat yang mayoritas islam sangat kesal dengan pelecehan agama yang dilakukan Pendeta tersebut. Akibatnya diluar sidang masyarakat yang merasa agamanya dihina melakukan tindakan anarkis dengan membakar rumah ibadah ( Gereja ) yang berkaitan denga agama Pendeta tersebut.
Jika dilihat dengan pandangan Emile Durkheim yakni salah satu fungsi agama adalah sebagai kontrol sosial. kontrol sosial disini digunakan untuk mengendalikan umat dari tindakan buruk seperti yang ada pada kasus Temanggung tersebut. Selain itu para pemuka agamayang bersangkutan pada kasus di atas tidak bisa bertindak sebagai penengah dalam konflik itu. Sehingga disfungsi pun terjadi. Pespektif interaksionisme simblolik menjelaskan bahwa konflik diatas merupakan pemaknaan tentang simbol yang dilakukan pendeta kepada umat islam. Seperti, pengedaraan buku-buku yang melecehkan umat islam.


               BAB IV
KESIMPULAN
             Indonesia adalah sebuah negara yang plural. Salah satu wujud pluralismenya adalah perbedaan agama. Sering kali perbedaan itu malah memicu konflik. Konflik tersebut terjadi karena masih banyak masyarakat Indonesia yang memandang agama sebagai jurang pemisah dalam interaksi sosial. Kondisi relasi antar kelompok beragama di Indonesia sebenarnya tidak sepenuhnya keruh, hanya saja ada beberapa konflik agama yang terjadi (seperti konflik Temanggung). Hal itu kerap kali merusak gambaran relasi antar kelompok agama di Indonesia. Hendaknya masyarakat Indonesia yang memiliki ideologi Pancasila dapat memperbaiki relasi antar kelompok beragama di Indonesia.

SARAN
1.      Menyadari agama sebagai objek, sementara pemeluknya---manusia--- merupakan subjek. Dengan demikian, pemicu konflik bukan berada pada agama itu sendiri sehingga masyarakat dapat menciptakan relasi intregatif antar kelompok agama.
2.      Merevitalisasi makna Pancasila sebagai ideologi Negara dan alat pemersatu bangsa dan melaksanakanya.
3.      Menjalin hubungan baik antar umat beragama dalam interaksi sosial.
4.      Sosialisasi akan pentingnya arti kerukunan antar umat bergama oleh para pemuka agama, tokoh masyarakat dan lembaga-lembaga sosial.
5.      Pemerintah dan aparat harus menjalan fungsi kontrol social melalui regulasi yang ada serta menjadi mediator yang baik dalam setiap konflik relasi antar umat beragama.


Daftar Pustaka :
1.                  John, Macionis
Juli 2010    “Hukum Untuk Semua” dalam LSD ---Law, Society and Development—(Lidwina, Inge, ed.) Jakarta : LSD (Law, Society and Development)
http://immasjid.com/?pilih=lihat&id=603 (Diakses pada tanggal 5 Maret 2011, pukul 20.00 WIB)
3.                  http://hukum.unsrat.ac.idmenmenag_mendagri_2006.com (Diakses pada tanggal 4 Maret 2011, 21.45 WIB)
4.                  Anonymous
Sosiologi Masyarakat Indonesia


[1] Seperti hindu, budha, animisme, dan islam.
[2] Seluruh tulisan diatas merupakan kutipan dari pnenelitian Mulder dalam buku Sosiologi Masyarakat Insonesia.
[3] Terdapat dalam buku Sosiologi Mayarakat Indonesia.

1 komentar: